Kamis, 12 Januari 2012

Konsep Mastery Learning


Konsep mastery learning sebenarnya bukanlah menjadi barang baru dalam bidang pendidikan, merunut sejarah munculnya konsep mastery learning, konsep ini telah dikembangkan oleh Carleton Wasburne dan teman-temannya pada tahun 1920 dan oleh Prof. Henry C. Morrison di Laboratory School Universitas Chicago tahun 1926 kemudian model Mastery Learning ini dikembangkan oleh Bloom dan Carrol pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya mengenai model belajar yaitu "Model School Learning".[1]
Dalam model yang paling sederhana, Carrol mengemukakan bahwa jika setiap siswa diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan siswa akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika siswa tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh maka tingkat penguasaan kompetensi ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar digunakan untuk belajar dibagi dengan waktu yang diperlukan untuk menguasai kompetensi tertentu. Hal ini oleh Block dinyatakan sebagai berikut:
Degree of learning = f clip_image002[2]
Dalam hal ini bakat bukan diartikan sebagai kapasitas belajar tetapi sebagai kecepatan belajar atau laju belajar.
Ini berarti bahwa siswa yang berbakat tinggi akan dapat menguasai bahan dengan cepat sedangkan siswa yang berbakat rendah akan menguasai bahan dengan lambat. Jadi apabila siswa memerlukan 10 jam untuk menguasai dengan tuntas bahan pelajaran, tetapi ia hanya menggunakan 8 jam untuk belajar, maka pada dasarnya ia hanya akan mencapai 80% penguasaan terhadap bahan yang dipelajarinya.
Makin lama siswa menggunakan waktu secara sungguh-sungguh untuk belajar, makin tinggi tingkat penguasaan terhadap bahan yang dipelajarinya.
Model dari Carrol yang masih bersifat konseptual ini akhirnya diubah oleh Benyamin S. Bloom menjadi model operasional. Menurut Bloom apabila bakat siswa terdistribusi secara normal dan kepada mereka diberikan cara penyajian dengan kualitas yang sama dan waktu belajar yang sama, maka hasil belajar yang dicapai akan terdistribusikan secara normal pula. Disini korelasi antara bakat dan hasil belajar sangat tinggi.
Tetapi apabila bakat siswa terdistribusi secara normal dan setiap siswa atau individu diberikan cara penyajian yang optimal dan waktu belajar sesuai dengan yang dibutuhkan siswa maka sebagian besar siswa dapat diharapkan akan mencapai tingkat penguasaan bahan yang tinggi. Dalam hal ini korelasi antara bakat dan hasil belajar dapat dikatakan tidak ada.
Kemudian perkembangan yang pesat dalam dunia pendidikan pada abad ke-20 ini membawa kita untuk mempertimbangkan suatu pandangan tentang kemampuan siswa yang dapat ditingkatkan semaksimal mungkin dengan usaha yang efektif dan efisien, yaitu dengan strategi mastery learning.
Di Indonesia strategi mastery learning ini dipopulerkan oleh Badan Pengembangan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dikaitkan dengan pembaharuan kurikulum di berbagai jenis lembaga pendidikan.[3]
[1] B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 99
[2] Depdiknas, Pedoman Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning) (Jakarta: 2003), 9
[3] B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar